Saturday, June 4, 2016

Perbedaan Syiar dengan Riya

Kadang kita membatalkan sebuah syiar karena takut riya.

Siapa yang dirugikan atas pembatalan itu?

Umat! Atau setidaknya segelintir orang yang kemungkinan terinspirasi dan termotivasi untuk melakukan kebaikan yang sama.

Sebenarnya, antara syiar dan riya bedanya sangat tipis, yaitu pada niat, dan yang tahu pasti tentang urusan ini hanya Allah dan pelaku, orang lain tidak bisa tahu kecuali hanya berprasangka.

Di sinilah sering terjadi pergolakan!
Di sinilah was-was dan bisikan-bisikan sedang bekerja mempengaruhi!
Hanya dengan bantuan Allah, yang membolak-balikkan hati, kita mampu selamat dari riya dan mensyiarkan kebaikan.

Final?

Tidak! Bisikan-bisikan itu terus hadir, bahkan sampai pada tahap evaluasi dari sebuah amal yang telah selesai.

Ok, kita hitung-hitungan:

1. Jika kita menunjukkan suatu kebaikan dengan niat riya, supaya mendapatkan pujian dan apresiasi positif dari orang lain, maka merugilah kita, karena kita hanya mendapatkan apa yang kita niatkan, kalaupun itu dikabulkan, karena tidak jarang, saat kita mengharap pujian atau ucapan terimakasih, justru cemooh yang didapat.

Bagaimana dengan orang lain yang menerima syiar kita?
Mungkin dia terinspirasi, mungkin juga tidak.
Jika ternyata ada yang terinspirasi, setidaknya hal itu menguntungkan orang lain yang mendapatkan nilai ibadah karena melakukan kebaikan karena terinspirasi.
Apakah kita tetap mendapatkan pahala karena menginspirasi, sedangkan  niat awalnya riya?
Wallahu'alam.

2. Jika kita membatalkan menunjukkan suatu kebaikan, mungkin kita selamat dari riya, mungkin kita jadi lebih tawadhu dan merasa tenang karena amal kita tersembunyi, tapi mungkin juga itu kemenangan musuh kita yang berbisik-bisik untuk menghalangi dakwah!

Bagaimana dengan orang lain?
Jelas merugikan orang lain yang seharusnya terinspirasi, sehingga umat pun kehilangan sebuah bentuk kebaikan, karena salah seorang darinya batal melakukan amal shaleh karena energi pemicunya mati. Sayang bukan, kalau kita berpeluang menjadi jalan hidayah seseorang tapi tidak kita lakukan? Sayang bukan, kalau di hadapan kita berkurang ajakan kebaikan dan lebih banyak propaganda keburukan? Bukankah seharusnya kita lebih mewarnai lingkungan dengan ajakan kebaikan?

3. Idealnya, kita bisa menunjukkan amal baik untuk menginspirasi dan memotivasi, sehingga akan muncul pernyataan dari yang memperhatikan,"Dia dengan kondisi seadanya bisa melakukan itu, kenapa saya tidak?"

Selain itu kita bisa meniatkannya sebagai bentuk rasa syukur dengan menunjukkan nikmat itu, agar kita selalu ingat, bahwa kebaikan yang kita lakukan merupakan karunia Allah.

Mental kita butuh dilatih untuk menghadapi pujian atau cercaan selama dalam kebaikan, agar seluruh hidup kita semata menghadap Allah dan mengharapkan hanya penilaian Allah.

Hayoooo! Tebarkan kebaikan untuk mengimbangi keburukan yang semakin mencemari lingkungan kita, baik di dunia nyata maupun media sosial.

No comments:

Post a Comment