Monday, May 30, 2016

Prasangka kepada Allah

Mungkin kita sering mendengar hadits:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku” (Muttafaqun ‘alaih).

Dan hadits singkat lebih mudah beredar, diingat dan digunakan, sayangnya pemahaman kita bisa salah jika hanya membacanya sekilas.

Pernah terfikir, begitukah? Enak banget, dong? Seolah Allah mengikuti semua persangkaan kita, termasuk semua mau kita? Padahal, pada kenyataannya, apa yang terjadi sering tak sesuai dengan harapan?

Di mana letak salahnya? Pemahaman kita, kah? Atau...?

Sampai kemudian membaca sebuah hadits qudsi yang lebih panjang  tentang prasangka kepada Allah.

Allah ta'ala berfirman,"Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rahmah) bila dia ingat Aku. Bila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Bila dia menyebut nama-Ku dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalammperkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia mendekat kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat. (HR Al-Bukhori 8/171)

Dan lebih dikuatkan lagi dengan :

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (Terjemah QS. Al-Isro ayat 7)

Hmm, semoga ada peningkatan dalam memahami hal tersebut, intinya Allah akan memberikan balasan sesuai dengan upaya yang kita lakukan.

Semoga kita jauh dari angan-angan, mengharapkan kemurahan Allah tanpa melakukan upaya apapun, sekedar membesar-besarkan prasangka dan mengikuti hawa nafsu kita.

Sunday, May 29, 2016

Anak Zaman

Ayahnya wafat saat dia dalam kandungan.

Disusui oleh wanita yang tidak melahirkannya.

Masa kecil dihabiskan bersama wanita yang bukan ibu kandungnya.

Itu fakta yang masyhur tentang Muhammad bin Abdulah bin Abdul Muthalib.

Mengapa begitu jauh dengan konsep ideal dalam mendidik anak?

Bukankah kita diperintahkan mengikuti jejak dan mencontoh kehidupan Rasululkah Saw? Apa kita juga harus menyusukan  anak pada orang lain dan menyerahkan pengasuhannya? Tidak kita didik sendiri?

Ssssat! Mari kita kritisi!

Bisakah kita memesan lahir dari rahim siapa, di zaman apa dan budaya yang sedang berkembang?

Demikian juga bayi Muhammad bin Abdullah.
Dia ditentukan lahir dari rahim seorang wanita bernama Aminah yang bersuamikan Abdullah bin Abdul Muthalib, yang hidup di zaman dengan budaya dan kebiasaan menyusukan bayi-bayinya kepada wanita yang hidup di pedesaan. Kehendak Allah, wanita beruntung itu bernama Halimatusysya'diyyah.

Mungkin perlu kita ingat, bahwa beliau diangkat jadi Rasul bukan saat kelahirannya, tapi di usianya yang ke 40an tahun. Jadi fokus keteladanan itu terutama pada apa yang diajarkannya setelah diangkat menjadi Rasul.

Saturday, May 28, 2016

Berinteraksi dengan Sunnah

1. Apa sih, sunnah?

Ada beberapa makna sunnah jika dilihat dari beberapa sudut pandang pembahasan.

Dalam pandangan ahli fiqh (menurut Imam Syafi'i) sunnah adalah produk Islam yang sudah jadi, terdiri dari hukum halal, haram, sunnah, mubah dan makruh.

Menurut ahli ushul fiqh, sunnah adalah sumber hukum Islam, yaitu Al Qur'an dan sunnah.

Ahli hadits mengatakan, sunnah adalah Al Hadist, yaitu semua perkataan, perbuatan, ketentuan dan persetujuan Rasulullah saw.

Tak ada pertentangan di dalamnya karena semua mengacu pada hal yang sama, yaitu petunjuk dari Rasulullah saw.

2. Bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan sunnah?

Yang pertama kita perhatikan adalah bagaimana berinteraksi dengan Al Qur'an, karena kehadiran Rasulullah saw. terkait erat dengan tujuan diturunkannya Al-Qur'an, bahkan dikatakan bahwa Rasulullah saw. adalah Al Qur'an berjalan, nilai-nilai Al Qur'an yang mewujud dalam sosok manusia.

Dilihat dari sisi pelaksanaan hukum, Al Qur'an terbagi menjadi dua:

1. Ayat-ayat yang terkait dengan hukum-hukum pribadi, yang pelaksanaannya bisa dilakukan individu tanpa menunggu jamaah, institusi atau undang-undang. Memahaminya juga tidak terlalu sulit, misalnya perintah untuk jujur, tawadhu, shalat, haji, menutup aurat, dll.
Memahaminya juga tidak terlalu sulit, dan lakukan yang sudah jelas/mudah.

2. Ayat-ayat yang pelaksanaannya terkait dengan jamaah/pemerintahan, misalnya yang terkait dengan hal yang sangat mendasar:
A. Ad-Dien, contohnya, untuk melaksanakan hukum murtad, maka hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan resmi.
B. Akal, contohnya, untuk melaksanakan hukum menghilangkan akal disebabkan mabuk karena minuman keras, maka hanya bisa dilakukan oleh pemerintah.
C. Keturunan, contohnya, untuk melaksanakan hukum bagi pelaku zina, hanya pemerintah yang bboleh melakukannya.
D. Harta, contohnya, pelaksanaan hukum porong tangan bagi pencuri dilakukan oleh pemerintah resmi.
E. Nyawa, seorang pembunuh hukumannya adalah bunuh juga, tapi, ya nunggu pemerintah yang melaksanakan hukum Allah.

Ayat-ayat di kelompok kedua tidak akan bisa diterapkan oleh individu, kewajiban kita adalah mengupayakan agar orang-orang yang berwenang membuat undang-undang dan yang melaksanakannya adalah orang-orang yang paham hukum Allah. Jika tidak, selamanya hukum Allah tak akan wujud di bumi ini.

Tapi jangan risau, walaupun tidak berlaku di dunia, hukum
itu terus akan mengejar sampai akhirat, termasuk juga mungkin mengenai kita yang tidak peduli pada upaya mewujudkannya.

#catatan pengajian