Thursday, March 27, 2014

KITA BUTUH KOTAK

Belakangan, terjadi alergi massal terhadap masalah politik dan partai.

Salah satunya pernyataan bahwa partai itu merupakan tindakan pengkotak-kotakan terhadap manusia, dan tidak sepantasnya dilakukan terhadap manusia.

Benarkah manusia tidak butuh kotak?

Kalau kotak yang dimaksud adalah penggolongan manusia, benarkah tidak manusiawi? Sedangkan Allah sendiri menggolongkan manusia ke dalam dua golongan, dua kotak, yaitu hizbusyaithon dan hizbullah.

Menurutku bukan masalah pengkotakannya yang perlu kita kritisi, tapi dasar pengkotakan itu.

Allah menggolongkan manusia dengan dasar perbedaan ketaatanNya, yang taat dan setia kepada syaithon disebut hizbusyaithon, golongan syetan, partai syetan, sedang yang taat kepada Allah disebut hizbullah, golongan yang taat dan setia kepada Allah, partainya Allah.

Bukankah ada kecenderungan manusia mendekat kepada yang sejenis, nyaman dengan karakter sejenis? Artinya berkotak-kotak, bergolongan, berpartai, itu merupakan naluri manusia, sangat manusiawi.

Jujur, bagaimana rasanya kalau kita merasa tidak berada di golongan tertentu? golongan syeitan atau golongan Allah? golongan kafir atau golongan beriman? nggak jelas siapa kawan siapa lawan?

KELIRU ATAU LUPA?

Ini kejadian sekitar setahun yang lalu.

"Tif, ada pulsa nggak?"

"Kosong, Mi, belum ngisi. Pulsa Umi habis juga?"

"Iya, pikirnya sih pake hp Hatif, sms Mama Akram, minta isiin pulsa."

"Aku isiin dari konter ya, sekalian ngisi punyaku."

"Ya, boleh."

***

"Sudah masuk, Mi, pulsanya?" tanya Hatif sekembalinya dari konter.

"Belum."

"Kok belum ya, padahal tadi aku tungguin ngisinya?"

"Tanya lagi aja, sayang duapuluh ribu kalau nyasar."

"Iya, Mi, mumpung belum lama."

***

"Mi, sudah terkirim tuh laporannya, sekarang sudah masuk?"

"Belum juga."

"Wah, padahal beneran, aku tadi baca sms laporannya."

"Hatif lihat nomor tujuannya?"

"Lihat, Mi, bener kok."

"Nomor berapa?" tanyaku. Kemudian Hatif menyebutkan nomor yang diisi pulsa, ha ha, ternyata nomor Abi.

"Hatif ingat nomor Abi?" kutanyakan lagi, untuk lebih yakin bahwa feelingku benar.  Dia menyebutkan nomor hpku.

"Yakin, itu nomor Abi?" tanyaku sambil tersenyum. Hatif tampak mengingat-ingat.

"Ha ha ha, tertukar, Mi! Pantes nggak masuk-masuk."

"Piye tho Tif, Al Quran 30 juz masuk, kok nomor hp lupa?"

"Bukan lupa, Mi, tapi keliru. Kalau lupa nomornya salah, tapi ini tadi nomornya benar tapi labelnya tertukar, he he."

"Menghafal Al Quran juga begitu ya? Sering tertukar antar ayat?"

"Iya Mi, tapi semakin sering murojaah/ diulang-ulang ya tambah berkurang yang begituan."

"He he, kirain Umi, kalau sudah hafidz Quran, semua informasi yang masuk nggak bakal lupa?"

"Wah, malah bahaya, Mi, kalau sepert itu."

"Kok bahaya?"

"Misal nih, aku melihat cewek cantik, apa dari TV, iklan di pinggir jalan atau orang sungguhan, trus nggak lupa-lupa, malah repot, Mi, mengganggu konsentrasi."

"Subhanallah, Robbana ma kholaqta, tak ada kesia-siaan dalam ciptaan Allah, termasuk lupa."

***


Wednesday, March 26, 2014

NGAJI POLITIK

"Mi, suami saya agak keberatan kalau saya pamit mau pengajian," kata bu Yani.

"Lho, kemarin-kemarin nggak keberatan? Katanya malah senang, karena sejak ikut pengajian Ibu tambah rajin ibadah dan tambah pinter membahagiakan suami?" tanyaku.

"Yang kemarin saya nggak bohong, Mi. Tapi sekarang-sekarang ini beliau keberatan, karena katanya sekarang ngajinya dikait-kaitkan dengan politik."

"Bukannya sudah tahu dari awal kalau Umi termasuk yang dakwahnya lewat politik?"

"Tahu kok, Mi, tapi selama ini nggak begitu mengganggu, mungkin karena situasi dekat pemilu ini, jadi panasnya terasa, he he?"

"Selama ini merasa dipaksa ikut politik, ngggak?"

"Nggak, Mi. Saya sama sekali nggak merasa di ajak ke politik, yang saya rasakan saya diajak untuk lebih dekat sama Allah, berkeluarga dan bermasyarakat sesuai tuntunan Islam. Andainyapun diajak untuk partisipasi dalam kegiatan yang pake bendera partai, nggak dipaksa juga, sukarela. Kegiatannya juga nggak ada yang melanggar, masa dzikir bersama, bakti sosial, senam massal melanggar, enggak kan Mi?"

"Ya syukurlah kalau Ibu tidak merasa dipaksa."

"Tapi heran deh, kenapa orang-orang yang nggak ikut ngaji bisa ngomong macam-macam ya?"

"Apa yang mereka katakan?" tanyaku.

"Maaf, Mi, meeka bilang partai Umi, eh partai kita menjual agama."

"Ya biarlah, yang penting kita tidak melakukan yang mereka tuduhkan."

"Mi, sebenarnya berpolitik itu dilarang nggak sih dalam Islam?"

"Islam itu ajaran yang syumul, lengkap, menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan kita. Dari urusan makan, buang air, hubungan suami istri, bermasyarakat, pendidikan, bernegara, semua ada tuntunannya. Rasulullah sendiri seorang pimpinan tertinggi sebuah masyarakat dan negara."

"Tapi ada yang bilang, karena sistem negara kita bukan sistem Islam, maka kita nggak boleh ikut di dalamnya?"

"Beda pendapat itu biasa, tapi sebaiknya tidak menimbulkan perpecahan di antara umat Islam, jangan saling serang, jangan menghalangi kalau kita tidak setuju dengan caranya. Kalau kita belum bisa bekerja sama dalam satu tim, ayo kita sama-sama kerja dalam bidang dan garapan dakwahnya masing-masing. Musuh kita hanya satu, syetan dalam segala bentuknya, mereka yang menghalangi kita berdakwah untuk mengajak manusia menuju ketaatan hanya pada Allah."

"Tantangan di jalan dakwah memang berat ya, Mi?"

"Ya beratlah, karena imbalannya juga hal yang luar biasa, keridhoan Allah dengan surgaNya."

Tuesday, March 11, 2014

BISAKAH KITA TERBEBAS DARI PARFUM?

"Mau ke mana, Han?" tanyaku saat Hany berpamitan.

"Ke mini market sebentar."

"Beli apa?"

"Parfum."

"Untuk siapa?" biasanya ada teman yang suka nitip belanja.

"Untuk Hanylah, Mi."

"Bukannya perempuan kalau keluar rumah nggak boleh pakai parfum?"

"Memang Umi nggak pakai parfum?"

"Nggak."

"Kalau mandi, Umi pakai sabun nggak?"

"Pakai."

"Harum nggak?"

"Harum."

"Parfum bukan?

O ow, pinternya ABGku, iya juga, parfumkan berarti pengharum?

"Memang kita bisa bebas dari parfum, Mi? Hampir semua kebutuhan kita yang terkait dengan perawatan tubuh dan pakaian menggunakan parfum. Sabun mandi, shampo, bedak, sabun cuci, detergen, pelembut cucian, pelicin pakaian, semua pakai parfum."

"Benar juga sih, tapikan kita harus melaksanakan tuntunan Rasulullah sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah."

"Kata ustadz, ketika kita mengkaji ayat atau hadist, tidak boleh satu ayat atau hadist tunggal, kan banyak ayat dan hadits yang membahas tentang tema tertentu?"

"Memang iya sih, dalam bahasan tertentu sering terjadi beberapa pendapat yang berbeda, semuanya pakai dalil, itu sebabnya untuk urusan yang seperti ini kita jangan ngotot dengan pendapat sendiri. Kita perlu kritis dengan dalil yang dijadikan dasar berpendapat."

"Jadi gimana?" Hany menunggu keputusanku.

"Lha Hany pakai parfum tujuannya untuk apa?"

"Malu, Mi, BB."

"Kalau masalah BB sebenarnya bisa diusahakan dengan menjaga kebersihan dan pola makan yang baik, kecuali ada penyakit tertentu."

"Kalau seperti Umi enak, di rumah. Keringatan sedikit bisa dilap basah, baju bau dikit bisa langsung ganti, lha Hanykan di luar rumah, nggak bisa menghindar dari keringat dan baunya."

"Di salah satu hadist, Rasululullah mengatakan parfum yang baik untuk laki-laki yang kuat baunya, sedikit warnanya, sedang untuk wanita, yang kuat warnanya, sedikit baunya. Sementara pakai dalil ini dulu, sambil terus belajar. Luruskan niatnya, jangan terbersit dalam hati niat pakai parfum untuk menarik lawan jenis. Beli parfum yang fungsinya menetralisir bau keringat, harumnya lembut, trus hindari berdekat-dekat dengan lawan jenis."

"Iya, Mi. Semoga Allah mengampuni, misalnya dalam pilihan sikap ini belum yang terbaik menurutNya."

HARI PERTAMA

by Hany (MHA3)

''Haa! Yang bener, kamu dari pondok?" tanya temanku dengan intnoasi bingung.

''Yaa," jawabku singkat.

''Hmm,trus kamu gimana ke pondoknya kalo kamu kursus di sini?" tanya temanku lagi, dengan wajah heran.

"Ihh,lebay dech,'' jawabku lagi.

''Duuh,,,ciusan looh ouy'', sekarang dia sudah kesal dengan jawabanku yang begitu, singkatnya, meskipun aku di pondok terbilang anak yang super duper ciwet (cerwet), tapi aku bisa aja secara tiba-tiba jadi anak yang pendiam dan kalem ha ha.

''Iya dech aku kasih tau, aku memang dari pondok tapi bukan santri, jadi. . ."

''Apa?" tanya temanku lagi.

''Ya begitulah,''sambungku.

''Weeh, yang bener?"
  
 "Kenapa kalo ngomong kok seperti orang nglindur, nggak niat gitu sih?"'

"He he aku dah keluar dari pondok. karena sesuatu deh, sedikit problem dari diri sendiri.''

''Oohh,,memang apa problemnya?" tanyanya.

''Keepoo,deh ha ha'' tawaku membludak, yah namanya juga anak jayuss.

''Hmm. . ." belum selesai temanku bicara, tiba tiba            

"Ini malah pada ngrumpi, itu soal di tangan sudah selesai apa?" tanya miss Ari dengan senyum yang lebar dan sedikit keluar gigi (nyengirr).

''Hehe, Miss dikit lagi," terpaksa bohong, kalo nggak yaa, biasa one hundred/seribu rupiah. Di kelas kami memang dibiasakan hukuman, supaya kita tidak seenaknya, nggak ngerjain pe-er, yang ribut, berangkat pake sendal daannn,,,,lain sebagai nya.

"Ayo,sudah selesai belum tugasnya, dari tadi ngrumpi sih," sindir miss. Baru saja miss Ari selesai ngomong secara bersamaan anak laki-laki melhat ke arah anak-anak perempuan.

"Huu. . . ibu-ibu ngrumpi!" kata mereka serempak.

"Kenapa Masbulloh haha,'' bersamaan kami jawab, tak kalah kompak.

"Sudah-sudah, kumpul tugasnya sekarang, kemudian berpasang-pasangan maju, baca yang ditulis tadi."

Hingar-bingar, semua menyebutkan nama pasanganny masing, dan sementara yang tersisa hanyalah satu siswi yaitu aku sendiri dan satu siswa, yaitu si Tor-tor, alias Thoriq.

"Ayo, tinggal kalian berdua yang belum, Thoriq!" panggil miss Ari.

"Eeh iya, Miss," jawabnya tergagap. Kami maju.

"Siapa yang salam?" tanyaku. Hmm,belum sempat dia jawab.

"Cup, kamu!"

"Hah! Aku?" jawabnya, kaget.

"Iyalah, ha ha."

 "Good after noon friends,'' ucap Thoriq.

''Good after noon.'' bales teman-teman. "Bla-bla dan bla ha ha,"tugas itu  selesai kami  baca. Nah, untuk salam penutup, tugasku. Berhubung grogi, yang terucap malah," Good morning friends!" berhubung waktu itu sore, jadilah suasana kelas heboh.

''Wha ha ha ha," tawa mereka meledak. Aduuuh, malu nian muka ini, di depan pula,  huwaa!

Karena di kelas itu yang pake jilbab cuma berdua, aku dan seorang teman, tapi dia masih pake celana panjang, jadi aku dipanggil Umi.

"Aduuh, Umi lagi mikirin Abi plus grogi  ya, diingatnya pagi ha ha" kata miss Ari

 "Aduh, apes lah sudah, untung tawa cepat reda, kalo nggak, fyuuuh!'' batinku.

"Sudah sekarang kerjakan halaman selanjutnya!"

Tertulis di buku PICNIC, ''Seperti tadi, aduh aduh," gumamku.

"Memang kenapa?" tanya Thoriq.

 "Nggak pa pa." salah satu yang harus kuisi adalah, barang apa yang perlu dibawa saat piknik, aku jawab saja, senter. Aku baru hari ini masuk kelas, belum begitu banyak kosa kata yang kufahami, memang aku terlambat mendaftar.

"Thoriq, kamu mau ngapain picnic bawa senter?" tanya miss Ari sambil tertawa, saat memeriksa pekerjaan Thoriq. Lho? jawabanku juga senter, waduhh, bakalan diketawain lagi nih.

 "He he,nggak tau,Miss'' katanya.

"Ini picnic Thoriq bukannya kemah."

"Aduh, salah lagi!" batinku. Tak terasa sudah akan pulang.

"Dani, close to white board,'' kata miss Ari.

 "Oh ya Miss patiin lampunya ya?" kata Dani, karena dia tidak tahu artinya, asal saja dia ngomong.

"Aduuh Dani, kalo dipatiin lampunya gelap dong.'' kembali gelak tawa membahan, mengakhiri kelas sore itu.

 the END  (ceeryuuss-crita jayuss)

#Ck ck ck ternyata nggak gampang jadi editor.

Sunday, March 9, 2014

ADIL

"Umi, yang adil dong!"

Ups! Kaget juga dengar Husna ngomong seperti itu. Ini permintaan apa nuduh ya?

"Umi nggak adil ya?" tanyaku, sambil menahan hati. Jujur, aku gampang tersinggung kalau urusan yang seperti ini, bukan apa-apa, untuk semua urusan dengan anak aku berusaha seadil-adilnya.

"Masa Na cuma di jatah dua ribu sehari, sedang Mbak Hany seratus lima puluh ribu sebulan."

"Husna kelas berapa?"

"Lima SD."

"Mba Hany?"

"Dua SMP."

"Husna sekolah naik apa?"

"Dianter juga dijemput Abi."

"Mba Hany sekolah naik apa?"

"Kadang dianter, kadang ngojek, kadang ngangkot."

"Kalau ngojek apa ngangkot, bayar nggak?"

"Bayar."

"Itu salah satu contoh kalau kebutuhan Mba Hany beda dengan Husna, wajar kalau Umi kasih uangnya juga beda. Adilnya bukan seberapa banyak Umi kasih uang, tapi bagaimana kebutuhan dicukupi. Husna ke sekolah untuk belajar, Mbak Hany juga, adilkan? Husna dan Mba Hany sama-sama sekolah untuk belajar."

"Trus, kalau Umi pergi, kok yang diajak Harish terus?"

"Memang Husna mau ikut ke manapun Umi pergi, seperti Harish?"

"He he, kadang-kadang pengen juga sih."

"Dulu, waktu Husna seumuran Harish, Umi ajak juga kok, semua juga seperti itu. Semua ada masanya."

"Jadi adil nggak harus sama ya, Mi?"

"Adil itu maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya, jadi nggak selamanya jumlahnya sama."

"Mi, adil itu sama semua orang ya?"

"Husna senang nggak kalau diperlakukan nggak adil sama orang lain?"

"Ya nggaklah, Mi."

"Begitupun orang lain, nggak suka kalau kita tidak adil padanya."

"Walaupun dengan orang yang kita nggak suka?"

"Ya, walaupun dengan orang-orang yang kita benci, harus berlaku adil. Allah itu Maha Adil dan senang dengan orang-orang yang berbuat adil."

"Tapikan suka kesel dengan orang-orang yang suka nggak baik sama kita."

"Boleh membalas, tapi secukupnya, tidak boleh melebihi apa yang dilakukannya kepada kita."

"Iiih, Umi. Kalau membalas tuh pengennya yang lebih sakitlah, biar puas!"

"Lha, mau puas di hati tapi nggak ada untungnya, malah membuat orang lain dendam ke kita, atau bersabar dan berlaku adil agar Allah sayang kepada kita?"

"Pengennya puas, tapi disayang Allah?"

"Ha ha ha, bisa aja. Tapi orang yang taqwa, yang taat sama Allah itu akan mengikuti apa perintah Allah, bukan cari puasnya sendiri."

"He he he."

***

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah penegak keadilan karena Allah, (ketika ) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan." terjemah Al Quran surat Al Maidah ayat 8.