Thursday, June 9, 2016

Santri Google

Bolehkah Bulan Ramadhan kita sebut bulan tabdabbur?

Mau tanya ke siapa?

Anggap saja boleh, karena tidak bermaksud bid'ah, sekedar melihat kebiasaan atau ingin membiasakan.

Selain tilawah, tarawih dan dzikir, alangkah baiknya kalau kita menambahkan tadabbur sebagai salah satu agenda amalan ibadah Ramadhan, sebagai salah satu bentuk interaksi kita dengan Al-Qur'an.

Saat mentadaburi ayat-ayat Al -Qur'an, selain mushaf, kita juga butuh terjemah Al-Qur'an, Kitab Asbabunnuzul dan Kitab Tafsir. Alangkah baiknya kalau tadabbur kita lakukan dibimbing seorang guru yang memahami ilmu agama, seperti tafsir, hadits, dll. Tapi pada kenyataannya tidak semua kita berkesempatan menikmati kajian bersama guru, entah itu karena tidak tahu dimana bisa berguru, atau karena kesibukan kita sehingga tidak bisa menyediakan waktu khusus untuk itu. Tapi bukan berarti kemudian kita tidak perlu atau takut melakukan upaya sendiri. Mungkin kebutuhan kita akan tadabbur sebatas mencukupi pegangan dalam menjalani hidup bukan untuk bisa mengajarkannya kepada orang lain.

Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah, daripada tidak sama sekali, tak ada salahnya kita mencoba "otodidak", belajar sendiri dengan membaca kitab-kitab tersebut di atas. Kalaupun belum punya, kita sudah dimudahkan dengan kecanggihan teknologi, mencari referensi secukupnya di internet, karena ternyata banyak dai-dai yang berbaik hati mempublish ilmunya ke internet dan kita bisa akses sesuai yang kita butuhkan. Jika berkesempatan bertemu pembimbing, maka manfaatkan untuk mendiskusikan tadabbur mandirinya.

"Santri Google!"

Abaikan olok-olok itu!

Allah Maha Berkuasa memberikan karunia-Nya dengan cara yang dipilih-Nya.

Wednesday, June 8, 2016

Wanita yang Iri dengan Laki-laki

Di zaman Rasulullah Saw. ada seorang wanita yang mewakili kaumnya untuk menyampaikan kepada beliau terkait kegalauan mereka atas beberapa syariat yang dianggap mengurangi peluang wanita untuk meraih pahala, salah satunya adalah pergi berperang.

Rasulullah menjawab bahwa ketaatan istri pada suami, selama dalam ketaatan kepada Allah, menyamai pahala itu semua.

Nah! Di bulan Ramadhan ini, biasanya wanita kecewa dengan kodratnya, mendapatkan haid, karena dengan begitu akan kehilangan mendapatkan pahala sholat, puasa dan tilawah, belum lagi harus membayar puasanya di bulan yang lain, berat, kan?
Kadang-kadang sering memaksakan diri, belum waktunya suci, sudah mandi, karena memang belum tuntas, kadang harus mandi wajib berulang-ulang.

Begitulah manusia, lebih melihat yang tidak bisa didapat dari pada yang sudah ada dan bisa diperoleh.

Mengapa kita tidak mau sedikit saja menggeser sudut pandang dan mensyukuri ketentuan Allah?

Kondisi haid bisa diibaratkan tubuh sedang dalam kondisi rentan, itu sebabnya diliburkan puasa agar lebih terjaga. Tidak puasa, ya gunakan kesempatan untuk memenuhi asupan, itu karunia Allah. Saya bukan termasuk orang yang bertoleransi dengan tidak makan walau haid untuk menghormati yang puasa. Pandai-pandai saja memilih waktu dan tempat agar tidak makan di hadapan yang berpuasa.

Takut ketahuan anak-anak?

Kalau memang harus ketahuan, justru kesempatan menjelaskan kepada mereka tentang syariat itu.

Tidak sholat?

Ya tidak apa-apa, kan tidak dosa? Justru dosa kalau tetap dilakukan. Bahkan untuk amalan yang sudah rutin kita lakukan, jika ada udzur yang menghalangi, maka pahala tetap mengalir walaupun kita tidak mengerjakannya.

***
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan karena udzur syar’i seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan amalan tersebut.” Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.”[HR Bukhori no 2996]

Sumber: https://rumaysho.com/550-di-balik-amalan-yang-sedikit-namun-kontinu.html
***
Enak, tho?

Bagaimana dengan tilawah? Sayang banget, kan?

Kalau kita mengikuti pendapat yang tidak tilawah saat haid, maka kita bisa gunakan waktu yang harusnya  tilawah, ganti dengan aktivitas tadabbur, seperti membaca kitab tafsir, hadits atau buku-buku kajian dengan tema tertentu.

Selalu bersyukur dengan ketentuan Allah akan membuat kita hidup lebih bahagia.

Monday, June 6, 2016

Puncaknya adalah Taqwa

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqoroh : 183)

Banyak amalan pendamping puasa yang dianjurkan dilakukan di bulan Ramadhan, antara lain:
1. Tilawah Qur'an
2. Tadabbur Qur'an
3. Infak & Sedekah
4. Shalat sunnah
5. Dzikir

Apa yang bisa pikirkan tentang hal ini? Menarik benang merah antara puasa-amalan pendamping-taqwa?

Ini bukan kajian yang bisa dijadikan referensi, hanya sekedar opini dari pikiran sederhana.

Setiap akan melakukan sesuatu, tujuan merupakan fokus utama. Apa makna dari sebuah perjuangan berat jika tujuan tak tercapai?

Gagal!

Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw, yang intinya, ada golongan dari umatnya yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus!

Naudzubillahi min dzalik!

Apa itu taqwa?

Sederhananya, taqwa adalah ketaatan pada Allah dan takut mendapatkan murka-Nya.

Artinya, kita harus fokus pada peningkatan kataqwaan dengan puasa dan amalan-amalan pelengkapnya.

Hidayah Allah akan sampai kepada kita, bisa dengan cara yang berbeda-beda, mungkin juga halnya dengan peningkatan ketaqwaan.

Mungkin kita akan merasakan semakin kenal dan dekat kepada Allah sehingganya semakin taat dan cinta kepada-Nya, dengan salah satu atau beberapa jalan berikut:

1. Saat merasakan menahan lapar dan haus atau kepayahan saat puasa, hati kita tergerak untuk mensyukuri segala kenikmatan yang selama ini kita terima tanpa diminta. Semakin bersyukur, semakin dekat, semakin merasakan ketergantungan dan semakin tumbuh rasa cinta, sehingga dengan ringan hati melakukan ketaatan kepada-Nya.

2. Dengan tilawah dan tadabbur, kita semakin memahami kedalaman agama ini, mengakui kebenaran dan kebaikan syariatnya dan bersemangat untuk mengamalkannya sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya.

3. Dengan banyak berdzikir, hati merasakan kedekatan, ketenangan dan nikmatnya ketaatan sehingga selalu rindu untuk mengulang-ulang melakukannya.

4. Dengan bersedekah kita merasakan kenikmatan, kebahagiaan  dan bersyukur karena mendapatkan kesempatan untuk berbagi, dan itu semua akan mendorong untuk meningkatkan ketaatan.

Begitu banyak peluang menuju taqwa, ambil sebanyak-banyaknya untuk memperbesar kemungkinan mencapai tujuan.

Saturday, June 4, 2016

Perbedaan Syiar dengan Riya

Kadang kita membatalkan sebuah syiar karena takut riya.

Siapa yang dirugikan atas pembatalan itu?

Umat! Atau setidaknya segelintir orang yang kemungkinan terinspirasi dan termotivasi untuk melakukan kebaikan yang sama.

Sebenarnya, antara syiar dan riya bedanya sangat tipis, yaitu pada niat, dan yang tahu pasti tentang urusan ini hanya Allah dan pelaku, orang lain tidak bisa tahu kecuali hanya berprasangka.

Di sinilah sering terjadi pergolakan!
Di sinilah was-was dan bisikan-bisikan sedang bekerja mempengaruhi!
Hanya dengan bantuan Allah, yang membolak-balikkan hati, kita mampu selamat dari riya dan mensyiarkan kebaikan.

Final?

Tidak! Bisikan-bisikan itu terus hadir, bahkan sampai pada tahap evaluasi dari sebuah amal yang telah selesai.

Ok, kita hitung-hitungan:

1. Jika kita menunjukkan suatu kebaikan dengan niat riya, supaya mendapatkan pujian dan apresiasi positif dari orang lain, maka merugilah kita, karena kita hanya mendapatkan apa yang kita niatkan, kalaupun itu dikabulkan, karena tidak jarang, saat kita mengharap pujian atau ucapan terimakasih, justru cemooh yang didapat.

Bagaimana dengan orang lain yang menerima syiar kita?
Mungkin dia terinspirasi, mungkin juga tidak.
Jika ternyata ada yang terinspirasi, setidaknya hal itu menguntungkan orang lain yang mendapatkan nilai ibadah karena melakukan kebaikan karena terinspirasi.
Apakah kita tetap mendapatkan pahala karena menginspirasi, sedangkan  niat awalnya riya?
Wallahu'alam.

2. Jika kita membatalkan menunjukkan suatu kebaikan, mungkin kita selamat dari riya, mungkin kita jadi lebih tawadhu dan merasa tenang karena amal kita tersembunyi, tapi mungkin juga itu kemenangan musuh kita yang berbisik-bisik untuk menghalangi dakwah!

Bagaimana dengan orang lain?
Jelas merugikan orang lain yang seharusnya terinspirasi, sehingga umat pun kehilangan sebuah bentuk kebaikan, karena salah seorang darinya batal melakukan amal shaleh karena energi pemicunya mati. Sayang bukan, kalau kita berpeluang menjadi jalan hidayah seseorang tapi tidak kita lakukan? Sayang bukan, kalau di hadapan kita berkurang ajakan kebaikan dan lebih banyak propaganda keburukan? Bukankah seharusnya kita lebih mewarnai lingkungan dengan ajakan kebaikan?

3. Idealnya, kita bisa menunjukkan amal baik untuk menginspirasi dan memotivasi, sehingga akan muncul pernyataan dari yang memperhatikan,"Dia dengan kondisi seadanya bisa melakukan itu, kenapa saya tidak?"

Selain itu kita bisa meniatkannya sebagai bentuk rasa syukur dengan menunjukkan nikmat itu, agar kita selalu ingat, bahwa kebaikan yang kita lakukan merupakan karunia Allah.

Mental kita butuh dilatih untuk menghadapi pujian atau cercaan selama dalam kebaikan, agar seluruh hidup kita semata menghadap Allah dan mengharapkan hanya penilaian Allah.

Hayoooo! Tebarkan kebaikan untuk mengimbangi keburukan yang semakin mencemari lingkungan kita, baik di dunia nyata maupun media sosial.

Ringan Berinfak

Kapan kita merasakan sangat ringan untuk berinfak?

Saat sedang longgar dan banyak rizki atau sedang sempit?

Mari kita bandingkan!

Ketika sedang pengajian, ada kotak infak yang dipindah tangankan, sedang dalam dompet hanya ada selembar lima ribuan, sendiri tanpa teman. Apa yang kita lakukan? Membiarkan kesempatan kotak itu lewat atau dengan ringan hati memasukkan uang itu ke dalamnya? Nggak lucu, kan kalau tutup kotak dibuka, uang lima ribu kita masukkan dan mengambil tiga ribu sebagai kembalian?

Bagaimana jika di dompet hanya satu lembar 50 ribuan? Masihkan dengan ringan kita infakkan semuanya? Bagaimana jika 100 ribu atau 500 ribu?

Sepertinya akan sangat ringan jika uang itu hanya lima ribuan.
Menurut pandangan manusia, lima ribu ya lima ribu, tapi di hadapan Allah, infak lima ribunya orang yang hanya mempunyai uang lima ribu, berbeda nilainya dengan infak lima ribu orang yang memiliki 50 ribu atau 500 ribu. Sedang Allah memerintahkan kita berinfak dalam kondisi lapang maupun sempit.

Hmm, sepertinya sedikit hikmah dari sempitnya rizki mulai terkuak, perbanyak infak selagi sempit, bukan sekedar untuk mendapatkan balasan dunia yang sering terbukti datang berlipat-lipat, tapi sedang memanfaatkan peluang berinfak dengan seluruh harta yang kita punya, yang tentunya sangat istimewa nilainya di hadapan Allah.

Bersyukur atas segala kondisi itu memang...indah.

Dosa Ibarat Kotoran

Kalau boleh dianalogikan, mungkin dosa bisa kita anggap sebagai kotoran, itu sebabnya ada syariat istighfar, berharap Allah membersihkannya, ada juga musibah dan sakit sebagai alat menggugurkannya.

Jika di saluran air banyak kotoran, kemungkinan besar dia akan menghambat aliran, itu sebabnya kita perlu introspeksi diri, saat produktivitas amal sholeh menurun, bisa jadi karena semakin menumpuknya dosa-dosa.

Jika cermin kotor, dia akan menghambat masuknya cahaya sehingga menghalangi pantulan wajah kita, sebagaimana hati yang ternoda oleh bercak-bercak akibat dosa, dia akan terhalang untuk masuknya hidayah dan ilmu.

Saat rizki terasa sempit, mungkin juga tersebab dosa-dosa, karena Allah menjanjikan kelapangan bagi orang-orang yang bertaqwa.

#bukan untuk menghakimi, sekedar introspeksi diri.

Friday, June 3, 2016

Persiapan Memasuki Ramadhan

Sudah siapkah menyambut Ramadhan?

Hhhhh! Rasanya kok nggak pernah siap, ya?
Tapi bukan berarti tidak disiapkan!
Beda ya, antara merasa nggak siap dengan tidak disiapkan!

Sama halnya saat menghadapi ujian, tetap saja merasa nggak siap, walaupun sudah menyiapkan dengan segala kemampuan yang ada.

Setidaknya, Ramadhan tahun ini ada hal pokok yang sepertinya prioritas, yaitu menjalankan ibadah dengan tarwiyyah, ( kalau jamak disebut tarawih). Ini bukan bicara sholat sunah khusus di bulan Ramadhan, tapi tentang sifat ibadah di bulan penuh barokah ini.

Ternyata tarawih memiliki pengertian tenang, tidak tergesa-gesa.
Hal ini bisa kita terapkan pada semua ibadah Ramadhan, baik itu shalat, tilawah dan dzikir.

Bukan mengabaikan target kuantitas, tapi hendaknya ada peningkatan pada kualitas ibadah kita, agar bisa lebih menikmati dan memberikan dampak positif pada kejiwaan.

Jangan sampai kita termasuk golongan orang yang dikatakan Rasulullah Saw, yaitu orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan rasa lapar.

Kondisi masyarakat kita sudah sangat darurat dari sisi kerusakan akhlak, ada baiknya bulan barokah ini kita bisa manfaatkan untuk lebih banyak menenangkan ruhani, banyak merenung dan menyadarihal-hal yang selamam ni tidak kita sadari, andil dalam proses kerusakan  akhlak.

Perbanyak istighfar, yang dengannya Allah berkenan memberikan ampunan dan jalan keluar dari permasalahan yang sedang kita hadapi.

Perbanyak shalawat dan mempelajari sirah nabi, agar kita layak memohon untuk mendapatkan syafaatnya.

Perbanyak doa untuk perbaikan bangsa ini.

Thursday, June 2, 2016

Ciri-ciri kebangkrutan


أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim no. 6522)

Wednesday, June 1, 2016

Al Amin

Gelaran yang diberikan kepada Muhammad bin Abdullah, oleh masyarakat, sebelum diangkat jadi Rasul.

Salah satu alasan mengapa sosok pribadi terpercaya yang jadi al mustofa, manusia yang dipilih, bisa jadi terkait dengan kredibilitasnya. Untuk menjadi pemimpin, sepertinya hal ini menjadi salah satu faktor terbesar yang harus dipertimbangkan. Apalagi seorang utusan Allah, Sang Pemberi hidup, yang ghaib dan tak bisa divisualkan sosok-Nya.

Amanah, salah satu sifat yang harus ada pada seorang rasul, dan tentu saja itu sangat masuk akal, sehingga selayaknya manusia percaya dan mengikuti yang disampaikannya.

Dan sifat seperti itu juga seharusnya yang dicontoh pengikutnya, menjadi orang yang terpercaya oleh lingkungannya.